“Ingat baik-baik ya teman-teman … nanti kalau ada yang lapar selama trekking, tolong kasih tahu yaa… jadi kita akan berhenti dulu untuk makan … jangan sekali-kali makan sambil berjalan,” begitu bunyi briefing yang disampaikan oleh Ketua Desa Wisata Lengkong dengan serius.
Sore itu, rombongan mahasiswa Prodi Hospar Institut Stiami Jakarta yang sedang magang akan melakukan trekking menuju lokasi air terjun dan camping ground di hutan cemara. Tujuannya diantaranya adalah untuk melakukan survey lokasi dalam rangka pengemasan paket wisata.

Saya jadi memasang kuping baik-baik mendengar isi briefing nya. Memang makan sambil berjalan itu tidak baik, tapi apa istimewanya coba? Kenapa sampai harus disampaikan seserius itu larangannya?
“Ketika nanti kita masak untuk membuat makan di lokasi, jangan dicicipi saat masih berada di dalam panci, wajan, atau ketel. Bumbui saja seperlunya lalu kita makan apa adanya,” sambungnya.

Nah kan? makin aneh saja. Masa mencicipi masakan yang masih berada di dalam panci atau penggorengan saja tidak boleh? Apa enaknya makan masakan yang mungkin kurang asin atau bahkan keasinan karena pas masak tidak bisa dicicipi dan dikoreksi rasanya dulu?
“Lalu nanti saat kita akan makan bersama, jangan ada yang komentar waah … kita makan pakai ikan atau apapun … tolong jangan sebut apapun tentang makanannya … nikmati saja apapun yang tersedia dan jangan berkata apa-apa.” katanya lagi.

Mereka memang membawa beras untuk dimasak di camping ground dan sudah berencana menangkap ikan yang banyak terdapat di sungai untuk dimasak sebagai teman nasi. Tapi rupanya itu pun tidak boleh disebut …???
“Memangnya kalau dilanggar kenapa? Tanya saya tanpa bisa lagi menahan diri. “Kalau pantangannya dilanggar nanti hujan turun Buu…”, jawabnya. Hahahahaha … saya langsung tertawa sejadi-jadinya setelah sempat tegang karena mengharapkan akan mendengar jawaban yang agak berbau horor atau minimal terdengar mengerikan, hihihihi… kalau akibatnya cuma turun hujan sih … Biarin aja kali …
Eits … Tapiii … namanya juga lagi trekking dan camping, apa enaknya kalau pakai acara kehujanan hanya karena melanggar pantangan masyarakat setempat? Toh pantangannya juga bukan hal yang kalau dikerjakan akan melanggar syariat. Selama kita mengikutinya sekedar menjaga keharmonisan dengan lingkungan dan penduduk setempat, dan bukan karena takut tidak apa-apa bukan? Karena hanya Dia yang selamanya berhak kita takuti.
Hmmm … baiklah … lebih baik ikuti aja daripada kehujanan … Ye kan ??(walau aslinya hati ini masih tetap penasaran apa beneran bakal turun hujan hanya karena ngemil sambil jalan, hihihi..)

Hanya menahan diri tidak makan sambil berjalan, tidak mencicipi makanan dari tempat memasak, dan tidak berkomentar apapun melihat makanan, mestinya mudah saja asalkan mampu menahan diri. Betul nggak Gaess?
Yah … itung-itung melatih diri menguatkan batin sekaligus belajar menghargai kearifan lokal walau bagi kami terasa begitu absurd.

Ini adalah untuk yang kesekian kalinya kami tim Dosen dan Mahasiswa dari Prodi Hospar Stiami Jakarta datang ke Desa Wates Jaya dalam rangka pendampingan desa wisata. Sejak awal kedatangan, kami juga sudah mendengar sepintas tentang kearifan lokal itu.
Hari ini, saat mahasiswa akan trekking barulah kami benar-benar mendengarkan bunyi semua kearifan lokalnya secara resmi. Meski dalam hati bertanya-tanya karena merasa penasaran, tapi kami memilih untuk diam dan menerima.
Sebelumnya kami juga sudah bertanya mengapa demikian, namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Sepertinya masih banyak misteri yang melingkupi kampung di hulu sungai Cisadane ini, tapi kami yakin suatu saat nanti kami akan tahu juga, jika memang perlu tahu tentunya.

Sedikit bercerita, program pendampingan desa wisata ini adalah salah satu program yang dikembangkan kemenparekraf untuk mempercepat laju perekonomian sektor pariwisata di pedesaan.
Upaya mengembangkan desa wisata ini diharapkan dapat membantu membangun ekonomi kerakyatan dan menciptakan ketahanan nasional melalui desa yang mandiri.

Program ini merupakan hasil kerjasama antara Kemenparekraf, Kemendes PDTT, dan Perguruan Tinggi, dimana salah satu perguruan tinggi yang ikut serta di sini adalah Institut Stiami Jakarta.
Sebelumnya saya lebih dahulu mengikuti TOT (Train of Trainer) yang diselenggarakan Kemenparekraf di Hotel Ashley Jakarta pada tanggal 17-19 Juli 2020 bersama teman sesama dosen.

Setelah itu, barulah ikut turun ke lapangan bersama dosen-dosen lainnya yang juga sudah pernah mengikuti TOT atau mendapat training yang sama di kampus.
Bagi kami, kegiatan ini adalah implementasi salah satu dari Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Selain Institut Stiami, telah banyak Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia yang juga mengikuti program ini.

Selama beberapa kali turun ke lapangan, sudah ada beberapa pelatihan yang telah diselenggarakan, mulai dari kuliner, homestay, pengolahan sampah, hingga digital marketing dan media sosial.
Masyarakat pun merespon positif sehingga menguatkan semangat kami dalam berkarya. Memang ada juga nada sumbang dari mereka yang meragukan kami karena pernah mengalami trauma, mendapat pembinaan lalu ditinggalkan begitu saja tanpa jejak dan tanpa ada hasilnya. Trauma selalu meninggalkan bekas yang cukup sulit untuk dihilangkan. Kami juga sempat dianggap ingin mencari profit dengan membangun desa wisata.

Kami para dosen dan mahasiswa kami hanya berbekal sedikit ilmu dan niat baik, tentunya tak akan mampu menjanjikan apa pun di luar kemampuan kami. Hanya waktu yang akan bisa membuktikan kesungguhan pengabdian kami.

Akhirnya harapan kami hanyalah semoga ilmu yang kami share di sini bermanfaat bagi warga desa Lengkong. Karena kami juga ingin melihat desa ini berubah wajahnya, menjadi desa wisata yang betul-betul mewujudkan sapta pesona, maju dan sejahtera. Aamiiin. IN
Catatan: sebagai update dari tulisan ini, setelah sekian lama penasaran akhirnya saya mendapatkan jawabannya juga. Ternyata semua kearifan lokal di atas selalu disampaikan secara turun-temurun oleh warga berdasarkan pengalaman mereka, dimana setiap kali melakukan pelanggaran selalu kehujanan.
Menurut mereka mungkin penjaga gunung ingin agar semua pengunjung selalu menjaga kesopanan dan tata krama di kawasan gunung itu. Agak beraroma mistik ya penjelasannya? Namun hal itu juga tidak terlalu sulit dipenuhi tidak pula melanggar ketentuan agama. IN